Sabtu, 27 Februari 2021

Gusti Ayu

 Gusti Ayu, gadis Bali yang aku kenal beberapa tahun lalu. Suaranya merdu sekali, dialek masyarakat Bali memang khas, namun jika kalian mendengar rekaman suaranya, kalian takkan menyangka dia adalah seorang bersuku Bali. Dialeknya Indonesia, namun jika kalian melihat wajahnya, dari 30 meterpun kalian pasti bisa menebak, dia seorang Bali. Tubuh yang tak terlalu tinggi, dengan rambut panjang yang bergelombang dan mekar, berwarna hitam tak pekat. Bentuk wajahnya oval memanjang, dengan dahi lebar dan dagu yang lancip. Aku ingat betul ada lesung pipi kanan diwajahnya. Sungguh, inilah wajah Bali yang pasti ada di bayangan kalian.

Aku anak seorang perwira, yang walaupun bersuku Bali, namun aku lahir dan tumbuh diluar pulau ini. Sebagian besar keluargakupun berprofesi sebagai angkatan, atau pengabdi negara, hanya satu atau dua kali dalam setahun kami pergi ke Bali jika ada hari raya besar, itupun aku tak selalu ikut. Pengetahuanku sangat minim tentang Bali. Jika seseorang bertanya padaku tentang Bali, yang kutahu hanya rumahku, aku jauh dari pengetahuan pariwisata, karena didaerah tempat tinggal nenekku ini, bukan daerah pariwisata.

Di Bali, harus ada anak laki-laki yang tinggal dirumah sebagai penerus keluarga. Aku adalah anak laki-laki satu-satunya dari ayahku, nenek memintaku untuk tinggal di Bali, menemaninya sambil belajar mengenai peran yang harus kuambil jika aku tinggal di Bali dimasa dewasaku. Saat aku menginjak SMA, aku pindah ke Bali. Di kabupaten kecil yang sepi, namun tak begitu terpencil seperti kota tempat ayahku bertugas dulu. Di SMA yang kecil itulah aku bertemu dengan gadis bernama Gusti Ayu.

Dia anak yang aktif, periang, dengan rambut yang selalu dirangkai dengan bunga cempaka atau sandat, tanda dia telah usai bersembahyang. Hari pertama kami masuk sekolah, aku telah mengenalnya, lebih tepatnya kami satu angkatan. Dia terlalu aktif bertanya pada pembicara saat masa orientasi. Aku, aku yakin dia tak mengenalku, apalagi melihatku. Badanku yang tak besar berada ditengah kerumunan orang, menggunakan topi, mana mungkin dia melihatku. Bahkan aku tak yakin siswa yang duduk disebelahku menghiraukanku, bahkan akupun tak mau peduli dengan siswa disekitarku. Malas sekali rasanya bergaul, mungkin karena terbiasa menjadi murid yang selalu berpindah sekolah dan tak pernah memiliki sahabat dengan benar.

Tujuh hari kemudian, saat masa orientasi telah selesai, disiang yang panas itu aku tahu bahwa aku ditakdirkan untuk bersama Gusti Ayu. Kami berada dalam satu kelas yang sama. Dia memang dia, tak memakai topeng sama sekali. Yang selalu diperlihatkan saat masa orientasi adalah dirinya yang sebenarnya. Di kelas, aku melihat dia ceria, spontan maju mengutarakan apapun yang ia pikirkan, pendapatnya, sanggahannya. Dia gemar bermain puisi, dia pandai sekali menyusun kata, menyanyikannya. Aku mengamatinya, melihat perubahan apapun yang terjadi padanya. Dia meluruskan rambutnya, mengenakan jepitan berwarna-warni dirambutnya, semakin kurus, menggendut, normal lagi.

Rambutnya, aku pernah menyentuhnya. Rambut yang ingin sekali aku sentuh sedari pertama kali aku melihatnya. Dia membentakku. Marah besar, matanya memulat, dengan bibir cemberut, alisnya naik. “Jangan pegang rambutku, yang boleh pegang hanya suamiku!” suaranya tegas. Aku terkejut. Dia pergi, berlari menjauhiku. Aku tersenyum tipis, aku tahu bahwa aku memang ditakdirkan dengannya.

Namun sifatku yang pemerhati ini tak bisa mencolok seperti dirinya, ataupun punya keberanian untuk mendekatinya secara terang-terangan. Akhirnya, akupun melihat dia menjalin hubungan dengan beberapa lelaki. Dan aku hanya bisa memperhatikannya. Sainganku bukan hanya pacar, gebetan dan mantannya saja, namun beberapa temanku baikku juga. Ada banyak lelaki yang menceritakan perasaannya dengan Gusti Ayu padaku, mungkin karna mereka menganggap aku tidak tertarik dengan Gusti Ayu, namun karna sikap diam dan pemerhatiku ini, aku menjadi tahu berapa sebenarnya rivalku, dan kapan seharusnya aku memperhatikannya dengan baik, untuk melindunginya.

Selain semua kelebihannya, Gusti Ayu punya kelemahan, yaitu ceroboh. Dia terlalu mempercayai banyak orang sampai tak tahu dimanfaatkan, dan walaupun dia tak tahu, aku pernah menyelamatkannya dalam beberapa kejadian. Dia pernah hampir dikecup laki-laki nakal, aku membatalkannya dengan melempar pesawat kertas.

Di akhir masa SMA kami, saat dia disakiti oleh lelaki lain, aku mulai dekat dengannya. Aku memanfaatkan kesempatan yang ada, tak akan aku sia-siakan lagi. Kami akhirnya berpacaran. Kalian harus tahu aku sangat bahagia, dia wanita yang sangat manis. Dia memotong poni karena dia tahu aku menyukai wanita berponi. Tapi sayangnya kami belum pernah jalan bersama, kami hanya pacaran lewat HP karena dia harus melanjutkan studinya ke fakultas, sedangkan aku harus berjuang untuk ujian masuk kepolisian.

Cita-citanya adalah menari denganku dibawah hujan, yang sampai saat ini belum terkabulkan. Saat aku masih menempuh pendidikan polisiku, dia juga selalu menceritakan keinginan atau khayalannya untuk suatu saat berjalan-jalan berdua, seperti kencan. Kalian tahu, dia sangat lucu. Semakin lama pipinya menembam, kenyal sekali. Semakin kemari, dia semakin sering marah, karena waktuku yang semakin sedikit untuknya. Dia pernah bilang “mending kamu kerja jadi tukang es campur aja, biar kamu bisa atur sendiri waktumu, biar punya waktu sama aku.” Karna mungkin menurutnya aku begitu tak punya waktu sama sekali. Dan juga, karna dia gemar es campur, gemar sekali. Dia bisa habis 2 bungkus sekali minum.

Enam bulan yang lalu. Aku kehilangannya. Untuk selama-lamanya.

Kami bukannya tak pernah putus nyambung, permasalahan setiap dia memutuskan hubungan kami hanya satu. AKU TAK PUNYA WAKTU. Dia selalu menjadi marah jika aku sibuk, atau jutek, dan jika lebih dari 3 hari, tamat sudah, pasti dia minta putus. Bahkan jika aku sibuk dengan keluargaku, dia selalu menuntut dia juga diberikan jatah yang sama. Dia selalu senang ditemani, dibantu mengerjakan sesuatu, atau digenggam tangannya sampai berjam-jam.

Enam bulan yang lalu, aku benar-benar tak memiliki waktu lagi dengannya. Aku tak punya kesempatan lagi untuk menemaninya jalan-jalan. Aku tak bisa lagi membantunya mengerjakan tugas kampusnya, dan tak ada lagi tangan yang bisa kugenggam hingga berjam-jam. Handphoneku pun tak pernah berdering sesering dulu. Tak ada yang marah saat aku tak sengaja memencet like difoto teman perempuanku. Tak ada lagi telepon yang durasinya lebih dari 15 menit.

Dia pergi karena mitral regurgitasi. Katup jantungnya tak berfungsi dengan baik. Darah yang seharusnya mengalir keseluruh tubuh tetap diam dijantungnya. Dia memang lemah, sedari pertama kali aku mengenalnya. Keadaan ini bukan sesuatu yang tiba-tiba. Tetapi aku tak pernah mengetahuinya. Yang kuketahui, dia hanya mengidap darah tinggi, dan sedang dalam pengobatan.

Kenyataan yang paling buruk adalah, aku sedang bekerja saat dia menelponku. Telepon terakhirnya. Harusnya aku mengangkatnya, andai aku tahu itu adalah kali terakhirku untuk bicara padanya, aku tidak hanya akan izin beberapa saat dari rapat itu untuk mengangkat telponnya, tapi aku akan langsung pergi ke tempatnya.

Dia tak pernah dirawat sama sekali dirumah sakit. Entah dia mengetahui kondisinya atau tidak, yang ku tahu, dia hanya check-up ke rumah sakit. Tapi aku tak pernah menemaninya. Kalian tahu? Walaupun dia manja padaku, sebenarnya dia adalah wanita yang mandiri. Dia hanya pergi seorang diri kerumah sakit, mungkinkah agar tak ada yang tahu kondisinya yang sebenarnya? Tapi seingatku, dia pernah meintaku mengantarnya, dan aku memilih untuk menjalankan acara keluargaku.

Sulit sekali untukku menceritakan ini. Namun kali ini kuberanikan diri mengenang bagian dari jiwaku yang terlah pergi. Aku menemuinya, tubuh yang sudah kaku. Yang tak bisa lagi tersenyum atau cemberut seperti biasanya. Semuanya putih pucat, andai aku bisa menciumnya untuk yang terakhir kalinya. Dia sangat cantik, walau tak nampak lesung pipinya, walau matanya terpejam, aku tetap bisa mengenangnya.

Ditangannya yang dingin, kupandang dalam. Aku teringat dia ingin sekali kubelikan cincin. Tapi aku tak boleh menangis. Di Bali, tubuh yang telah ditinggalkan oleh pemiliknya tidak boleh terkena tetesan air mata, kita percaya itu akan menghambat proses pemilik tubuh. rambut itu, kuusap lagi, berkali-kali. aku ingin kata-katanya menjadi kenyataan, yang menyentuh rambutnya akan menjadi suaminya. Tapi mengapa aku tak bisa? Tuhan tak memberiku kesempatan untuk merawatnya menjadi istriku.

Gusti Ayu, wanita yang enam bulan lalu masih dengan lantangnya memintaku untuk pulang, jangan ambil kerja lembur, atau jadi tukang es campur saja, kini sudah tak ada. aku sendiri melihat bagaimana tubuhnya dibakar, sebagian melayang, menari ke udara. Sebagian lagi, menyatu memeluk bumi. Larut dalam air laut. Dan kenangannya ada bersamaku, dalam jiwaku, selamanya.

Kini hujan yang dulu paling kita nantikan, adalah hal yang tak pernah aku inginkan. Hujan seakan menamparku, menyayatku dengan tiap tetesannya, bahwa aku tak bisa memenuhi keinginan Gusti Ayu sejak awal hubungan kami.

Gusti Ayu, jika dikehidupan berikutnya kita bertemu, aku akan menyentuh rambutmu lagi. Kupastikan, aku akan melakukannya lagi, untuk semua yang belum kupenuhi.

Jumat, 24 Juni 2016

Biarkan Aku Jatuh Cinta (II)

Mentari bersinar terang untuk hari ini, namun nampaknya akan sia-sia karna sinar mentari itu tak akan dapat menembus pekatnya hidup yang telah kutulis dimasa sebelumnya.  Semua wanita pasti ingin mempunyai seseorang yang dapat dijadikannya sebagai sandaran, yang dapat menjadi tempatnya bernaung ketika dia merasa lelah, tempatnya untuk mencurahkan segala isi hatinya, aku hampir saja mendapatkannya, pria itu bercahaya, hangat, satu-satunya bintang yang sinarnya mampu menembus awan gelap, namun aku kehilangannya, bintang itu tak bersinar kembali, malamku akan gelap dan dingin kembali. Menyakitkan memang jika kita harus kehilangan sesuatu yang hampir kita gapai, namun setidakya ini lebih baik daripada harus melihatnya terluka di lain hari. Setidaknya belum terlalu banyak kenangan yang tercipta.
Aku pulang lebih awal hari ini, dengan alasan menghadiri seminar daerah, memang alasanku tak sepenuhnya palsu namun alasan sebenarnya adalah untuk menghindarinya. Keluargaku memang tergabung dengan komunitas peduli AIDS. Namun aku tak pernah mau ikut menghadiri event-event yang ada. Menurutku itu tak diperlukan karna berkumpul dengan sesama penyandang AIDS hanya akan menambah hidupku semakin hitam dan gelap. Tapi kali ini aku ingin melangkahkan kakiku menuju komunitas ini,  perlahan aku harus menerima kehidupanku, kehidupan yang hitam, mau tak mau aku harus menerimanya karna bagaimanapun caraku meronta akan hidupku, itu tak akan membuatku berpindah ke dunia yang lebih terang, bagaimana mau berpindah, bahkan aku tak dapat melihat apapun disekitarku karna gelapnya duniaku, bahkan aku mulai kurang yakin bahwa aku memiliki penglihatan.
Semua orang menatapku ketika aku sampai di tempat itu, tempat yang menurutku terlalu bagus untuk penderita AIDS yang bahkan tak punya harapan untuk masa depan hidupnya. Aku orang asing bagi mereka, ya jelas saja karna aku tak pernah datang ke tempat ini sebelumnya, hanya  ayah dan ibu yang aktif untuk menghadiri acara seperti ini, ah bodoh, untuk apa aku kemari!! Harusnya jika aku hanya menghindari Adji aku tak perlu kemari. Tapi aku takut, aku takut Adji telah menceritakan sesuatu ke teman dekatnya dan  teman dekatnya bercerita pada teman lainnya, dan teman lainnya itu juga menceritakan hal ini pada teman dekat lainnya, sebentar lagi aku berita itu pasti akan menyebar, bencana apalagi yang akan ku lihat setelah dulu berkali-kali aku harus berpindah-pindah sekolah karna aku tak pernah bisa membungkam mulutku akan hal ini. Mungkinkah kini lagi?
“Hey, ayo masuk, ngapain disini, anak baru ya? Aku tumben liat, kenalin aku Cakra, ini adikku,  Sinha” seseorang menyapaku, juga anak kecil itu juga tersenyum manis menyapaku sambil menggenggam tanganku. Siapa dia, akupun tak tau, namun dia mengenakan kemeja hitam dengan bordiran peduli AIDS begitu pula kanak-kanak yang menggenggam tanganku itu, baju itu juga pernah dikenakan ibu, kusimpulkan mereka juga anggota komunitas ini, mereka juga positive AIDS sepertiku, dan begitu pula seluruh orang yang ada di dalam ruangan itu. Kulihat semuanya berbeda ditempat ini, sesama penyandang sepertiku bisa tertawa bersama, semua akrab, mulai dari kanak-kanak hingga yang dewasa. Mereka seperti tak punya beban, namun ketika kami datang semua sunyi, aku diijinkannya untuk memperkenalkan diriku terlebih dahulu.
“o jadi kamu dari keluarga bramantyo? Kalau gitu kamu bukan anggota baru disini” Cakra kembali menjelaskan semuanya pada setiap hadirin yang ada. Walaupun sebenarnya aku datang terlambat, tapi mereka tetap menerimaku. Senang rasanya, ternyata ada tempat untukku bersandar, tempat untukku berbagi cerita tentang apa yang tengah kurasakan, bahkan hanya beberapa saat kami sudah bertukar nomor handphone. Dan mungkin ini kali pertama aku menunjukkan kebolehanku dalam menari, karna di komunitas ini penyandang AIDS berkumpul untuk saling menguatkan, setiap minggu ada satu hari yang diluangkan untuk berkumpul bersama. Mengajari anak-anak melukis, menari, bernyanyi, memberdayakan barang bekas, semua begitu berwarna, semua tau kekurangan dalam setiap diri dan semua memakluminya, semua berada dalam garis nasib yang hampir sama.
“keren narinya Nin, Sinha mau kamu jadi guru narinya, jadi kupikir kamu latih nari anak-anak tiap kumpul ya? Nggak keberatan kan?” kata Cakra menyapaku yang sedang beristirahat sembari memijat betisku yang lelah sehabis menari.
“Aku nggak janji aku bisa dateng kesini setiap waktu” jawabku dengan enteng, dia hanya mengangguk paham akan keadaanku, namun kanak-kanak dipangkuannya itu nampak tak terima
“Kalau kakak nggak bisa dateng kesini aku aja yang dateng ke rumah kakak, please ya kak, ajarin aku nari, aku mau nari kenaikan kelas nanti, mau kan kak?” katanya penuh harapan. Kupikir dunianya juga sama sepertiku, hitam, pasti anak kecil ini juga takut teman-temannya mengetahui kebenaran akan dirinya, pasti anak kecil ini juga sama sepertiku yang tak ingin dipandang sebelah mata oleh teman-temannya, maka dari itu setelah berpikir beberapa detik, aku menyetujui permintaan anak kecil itu.
Setelah hari itu, hari demi hari berhasil kulewati walau dengan susah payah. Adji? Dia sudah melewati Ujian Nasional dan meraih nilai terbaik, aku mengerti ada banyak faktor yang menyebabkan dia menjauhiku, dia pasti sibuk untuk belajar menghadapi UNas nya, selain itu dia juga sibuk dengan pendaftarannya menuju perguruan tinggi, dan faktor yang paling penting adalah dia menjauhiku karna mengetahui keadaanku. Dulu sempat terpikir olehku bahwa Adji adalah pribadi yang berbeda dari orang-orang lainnya, senyumnya yang tulus dan menghangatkan, bahkan dulu aku sempat meyakini bahwa Adji bisa menerima kekuranganku, dia tak kan mempermasalahkan semua ini, namun ternyata setelah apa yang kujalani saat ini, semua keyakinan itu tergerus oleh arus waktu. Lagipula seharusnya aku sadar diri, manusia sempurna seperti Adji mana mungkin pantas untuk bersanding dengan seorang yang telah terkutuk sedari lahir seperti aku ini.
Hingga akhirnya arus waktu yang menggerus keyakinanku pada Adji perlahan membuatku melupakannya, dan menumbuhkan rasa cinta mendalam pada Cakra, pengusaha muda yang juga satu komunitas denganku, dia sangat mengerti aku, kami saling mengerti atu sama lain, dia dewasa. Walaupun tak seindah Adji namun aku tak merasa bersalah jika aku berada di dekatnya. Bahkan sebentar lagi aku akan menamatkan SMA ku dan akan masuk ke fakultas kedokteran karna bimbingan dan dukungan darinya.

Minggu, 12 Juni 2016

Biarkan Aku Jatuh Cinta (1)

Cinta, sesuatu yang bagi banyak orang itu tak dapat diartikan namun semua orang dapat merasakan kehangatan dan kenyamanan yang diciptakan oleh yang satu ini.  Akupun begitu, walaupun ayah dan ibuku selalu melarangku untuk jatuh cinta namun namanya juga perasaan, tak dapat dikendalikan, aku tetap mencintai seseorang walau dalam diam, karna aku tau kedua orang tuaku tak ingin aku menjalani suatu hubungan khusus yang lebih dari teman dengan seorang lelaki, terlebih pergaulan jaman sekarang yang sudah terlalu melebihi ambang batas normal, dan suatu alasan yang menurutku sangat manusiawi adalah karna kedua orang tuaku tak ingin menyakiti hati seseorang.
Hari itu saat kegiatan tengah semester, aku duduk dipinggir lapangan menyandar di pohon sendiri melihat permainan futsal yang sedang berlangsung. Sebenarnya aku punya beberapa teman namun yang namanya wanita mana suka sama futsal, jadi mereka lebih memilih pergi ke kelas, sedangkan aku memilih untuk duduk di pinggir lapangan untuk melihat pertandingan berlangsung, walaupun sendirian setidaknya ini menghindarkan ku dari omelan wakabid kesiswaan yang killer. Ada satu lagi alasanku untuk tetap tinggal, yakni karna pria yang kusukai sebentar lagi akan bertanding dan aku tak boleh melewatkaj kesempatan untuk melihatnya empertunjukan kebolehannya, dia kakak kelas dan selain pintar di akademik dia juga dapat diandalkan disegala bidang non akademik kecuali tari. 
Aku memang diam-diam menyukainya, dia pembina club kimia pula, selain tinggi dan bersih senyumnya juga manis, dia ramah dengan semua orang dan terkenal di kalangan guru. Dua bulan yang lalu dia menyatakan cintanya padaku, saat kelas pengembangan diri baru saja usai, namun kutolak baik-baik, kujelaskan bahwa orang tuaku tak ingin aku menjalin hubungan dengan usiaku yang masih terbilang dini, dia mengangguk mengerti maksud dan keadaanku. Kupikir sejak saat itu dia akan berhenti tersenyum padaku namun nyatanya senyumnya semakin cerah setiap kali bertemu denganku. Andai saja dia tau bahwa kini aku rela duduk sendiri di bawah pohon hanya untuk melihatnya.
Oiya aku lupa memperkenalkan diriku, namaku Nindi, tak ada yang spesial dariku, aku hanya siswi yang tak mudah bergaul dengan lingkunganku, hanya mungkin yang membedakanku dengan siswi lain adalah rambut yang panjang dan selalu ku , walaupun tak seorangpun tau, aku gemar menari, setiap minggu aku selalu ke sanggar tari. Dan lelaki yang sedang kupandangi diam-diam itu bernama Adji. Semua orang mengenalnya, juara umum, dan mungkin wanita satu sekolah menyukainya, itu juga salah satu faktor penyebab aku menolaknya, aku tak ingin semua wanita sekolah memandangku sinis.
2-0, skor terakhir yang diperoleh teamnya. Dia berlari kegirangan, akupun kegirangan namun kusembunyikan agar tak ada satupun yang mengetahuinya. “Makasi ya udah nonton!” katanya sambil duduk didepanku tersenyum, aku membalas senyumnya. “Maaf ya keringetan gini, aku selonjoran ya, panasnyaa” ucapnya sambil beberapa kali mengusap keringatnya. Aku mengangguk, “Waah ini airmu? Aku minta ya, hauss” katanya lagi sambil langsung meminumnya sebelum aku mengijinkannya. Satu botol habis, tapi untunglah, memang sengaja aku menyiapkannya untuk dia. “Pindah yuk?!”
“Kemana?” tanyaku
“ke perpustakaan, nyari AC, panas tau” dia tak berhenti mengipaskan tangannya
“Tapi futsalnya kan belum selesai, ntar kena  marah waksis kak, aku takut”
“kamu yakin nggak mau pindah? Mereka pada liatin kita lho, mau digosipin sama mereka?” katanya mempengaruhiku, “Lama ah mikirnya!” dia menarikku tapi aku tak mau, bukankah hal yang seperti ini yang menarik perhatian orang. “Yaudah aku ngerti, aku jalan duluan, kamu nyusul ya,, daa” dia pergi begitu saja dari pandanganku. Jantungku berdegup kencang ketika aku berjalan menuju perpustakaan, kurasa kondisi badanku semakin lemah, untuk jalan saja aku tak punya tenaga, lemahnya aku! Aku benci pada diriku sendiri, aku benci pada jalan hidup ini, bagiku semuanya tak adil. Namun semenjak aku dekat dengannya perlahan aku tak begitu memusingkan hidupku yang hitam dan suram. Jika sebelumnya aku ingin sekali pergi keluar rumah untuk bermain dengan teman kini aku mulai senang diam dirumah karna ada seseorang yang selalu menunggu balasan pesan dariku. Walaupun aku tau aku hanya menyakitinya karna aku tak akan bisa menerimanya, dan aku telah menyakiti kedua orang tuaku, namun aku tak bisa memungkirinya bahwa aku mencintainya, walau aku hanya bisa mencintainya dalam diam, kuharap dia sadar akan perasaanku ini, perasaan yang tak pernah ku ungkapkan.
“Akhirnya dateng juga, duduk!” katanya sambil menyiapkan kursi untuk kududuki. 
“Adji,, siapa Dji?” kata petugas perpustakaan yang juga guruku. “Pacarnya ya? Ternyata bisa pacaran juga ya” sambung Pak Ian
“ya pak, emangnya Adji apa nggak bisa pacaran?” pak Ian tertawa mendengar balasan itu, dan membiarkan kami hening dalam perpustakaan ini. Perpustakaan memang selalu sepi, terlebih saat kegiatan tengah semester seperti ini, siswa lebih memilih untuk nonton drama korea bersama di kelas, karna dikelas mereka bebas ribut.  Yang ku tau pak Ian ini adalah orang yang garang, cuek, ini untuk pertama kalinya aku melihat penjaga perpus ini begitu ramah, apa karna pria yang duduk didepanku saat ini? Apa Adji begitu pintarnya hingga mendapatkan hati semua guru bahkan guru yang garang sekalipun. Tak ada topik yang diperbincangkan, aku hanya diam menahan sakit yang entah darimana datangnya. Tubuhku rasanya lemah sekali.
“Nin, kamu kenapa? Sakit?” suaranya memecah keheningan, aku menggeleng.
“I love you Nindi” katanya berbisik sambil meraih tanganku, ah kuyakin saat ini wajahku memerah, ingin sekali rasanya aku tersenyum kegirangan namun harus kutahan dan kusembunyikan. “Nindi” katanya lirih, “Apa bener kamu nggak ada perasaan sedikitpun sama aku?”  bibir ini rasanya terlalu keluh untuk mengucap. “Pikirin baik-baik ya, aku nggak minta jawabanmu sekarang kok, kapanpun kamu siap kasi tau aku”  katanya begitu ketus namun lirih, menolak genggaman tangannya pun aku tak sanggup kini.
“Tapi kak, aku nggak dikasi pacaran sama ayah ibuku”
“apa perlu kakak yang minta izin ke mereka biar mereka setuju?” tanyanya dengan yakin sementara aku tak dapat menjawab kalimat interrogative itu “Mereka ngelarang kamu pacaran karna mereka takut kamu nggak fokus sama sekolahmu, mereka takut pergaulanmu salah, tapi kakak janji sama kamu kakak bakal nuntun kamu, kita bisa belajar bareng kan? Jadi apalagi? Pelase?!” aku semakin tersudut mendengar kalimat yang tegas namun kecil itu, detak jantungku semakin kencang.
“Aku remidi kimia kak, remidiannya besok, aku harus ke kelas sekarang, aku ada janji bakalan belajar bareng temen sekelas” cetusku setelah beberapa detik terdiam memikirkan topik yang dapat mengalihkan pembicaraan. Tanpa menunggu jawaban darinya aku meninggalkan ruangan itu. Aku tau aku telah berbohong, aku tau tak semestinya aku bersikap seperti itu . dan akupun sangat sadar bahwa semua ini kesalahanku, aku yang telah membiarkannya masuk kedalam hidupku, dan kini rasanya aku harus mengakhiri hal itu sebelum dia masuk terlalu jauh, sebelum aku menyakitinya lebih dalam lagi. 
Namun kurasa ini akan sulit, Adji begitu baik, bahkan dia tetap memulai chat denganku tanpa memikirkan hal yang baru saja terjadi, namun tak ku hiraukan. Aku sengaja menyibukkan diriku dengan buku kimia dan kucingku, Lika. berkali-kali nada dering itu berbunyi, sebenarnya aku tak tega namun untuk kebahagiaannya aku mematikan ponselku dan berusaha konsentrasi untuk remidiku besok. Segala sesuatu harus berdasarkan niat, niat itu tak boleh dipaksa, aku yang memaksakan kehendakku untuk belajar malah menulis namanya di kertas. Haha andai saja perasaan ini bisa kusampaikan padanya, pasti aku tak akan tersiksa seperti . 
“permisi” terdengar seseorang mengucap salam di depan rumah, sempat terpikir bahwa itu adalah pengacara ayahku jadi dengan antusias aku menghampirinya, membukakan pintu untuknya. Pengacara ayah adalah sahabat ayah sendiri, aku juga menganggapnya sebagai ayahku. “Haii Nindi”
“Kak Adji!” dia tersenyum sementara aku kebingungan akan apa yang aku lihat. Segera kucubit pipiku sendiri untuk memastikan ini hanya khayalku saja atau , dan semua nyata. Adji Priambada Sampurno sedang berdiri dihadapanku dengan senyuman lebarnya. “Kakak ngapain kesini? Eh maksudku tau dari mana alamat rumahku? Bukannya aku nggak pernah ngasi tau kakak ya?”
“kamu lupa ya? Aku ini orang hebat, aku tahu segalanya, kalau cuma alamat rumahmu sih kecil, lagipula aku ini kan kakakmu jadi aku harus pastiin kamu belajar dengan baik buat remidi besok, kita belajar bareng, jadi apa aku boleh masuk?” aku mengangguk menyuruhnya untuk duduk terlebih dahulu sementara aku pergi dengan alasan mengambil minum, padahal aku sibuk membenahi rambut dan penampilanku di kamar. 
Dia tampak berbeda sekali dari tadi siang, kaos hitam yang dikenakannya begitu kontras dengan kulitnya yang putih, bibirnya yang tersenyum ketika masih basah itu sungguh manis, bagaimana bisa aku konsentrasi belajar jika yang mengajariku itu dia! 
“Jadi ayah sama ibumu mana Nind?” katanya setelah kita selesai memecahkan beberapa soal perhitungan kimia. “Belum pulang ya? Kerja dimana?” katanya sebelum aku dapat berpikir untuk mencari sebuah jawaban yang tepat untuk pertanyaannya sebelumnya.
“Itu” kataku sambil menunjuk kearah foto keluarga yang terpampang besar dengan bingkai kayu berukir, dia malah menoleh kearahku sambil menaikkan satu alisnya pertanda ia tak mengerti apa yang tengah kumaksud, melihat respon itu aku menopang daguku dengan kedua tanganku. “Iya, ayah sama ibu sudah meninggal”
“Ha!!? Jadi, “
“Ayah meninggal waktu aku masih kelas 1 smp kak, trus ibu baru aja meninggal setahun lalu” dia hening melihat foto itu, ayah yang kurus dan bersih begitu pula dengan ibu. “Udahlah jangan diliatin terus, kakak nggak pulang? Ini udah sore lho, oiya makasi lho kak udah mau ajarin aku walaupun aku nggak ngerti, hehe” celotehku padanya untuk mengalihkan pembicaraan, namun dia malah menatapku dengan pandangan yang membuat hatiku terenyuh tak karuan.
“selama ini siapa yang biayain hidupmu?” ternyata usahaku mengganti topik tak berhasil, perlahan mulai kujelaskan padanya tentang masa laluku, bahwa aku hidup dengan asuransi yang sudah ayah siapkan . “Nin” katanya memutus pembicaraanku, aku menoleh kearahnya. “Biarin kakak yang jagain kamu ya, kamu tenang aja, kamu nggak sendiri, kapanpun kamu butuh kakak, jangan ragu buat panggil kakak” mendengar hal itu aku tak tau harus berbuat apa, aku hanya menjawab pernyataan itu dengan tatapan kosong dari kedua mataku. “Om Tante, kenalin aku , Adji,. Maaf ya sudah seenaknya masuk kerumah kalian tanpa ijin, oiya om aku kesini buat minta ijin ke om sama tante, aku sayang sama Nindi, aku janji buat jagain dia, aku bakal temenin dia belajar, aku bakal jadi guru privatenya dia, aku juga bakal jauhin dia dari pergaulan bebas, makasi ya om tante sudah ngijinin aku ngejagain Nindi” kalimat itu terlontar dari mulutnya, dia sengaja berdiri dihadapan foto ayah dan ibu untuk menyampaikan hal itu. “Jadi nin, aku sudah minta ijin sama ayah ibumu kaya janjiku tadi, dia nggak bakal marah kalau kamu pacaran sama aku, gimana?”
“Kak, aku nggak bisa nerima kakak, aku nggak pantes buat kakak, aku nggak cinta sama kakak!” 
“coba ngomong sekali lagi kalau kamu nggak cinta sama aku? liat aku, aku tau kamu cinta sama aku, dari tatapanmu, dari caramu senyum ke aku, dari caramu ngindarin aku, aku tau kamu punya perasaan yang sama kaya aku, Nin,, aku serius, please be mine” kalimatnya muali meninggi, aku menahan air mataku, degup jantungku terlalu kencang menahan semua ini, 
“Please kak, tinggalin aku sendiri, lagipula ini sudah hampir malem”
“jawab aku dulu Nind, setidaknya kalu kamu nolak aku kasi aku alasan yang  jelas, jangan nangis kaya gini, aku nggak bakal maksa kamu jadi pacarku, aku Cuma mau tau perasaanmu sama aku, itu aja”
“aku cinta sama kakak, aku sayang sama kakak, puas??!!” kataku yang kemudian duduk di sofa menyembunyikan air mataku dari tatapannya 
“Kenapa nangis? Aku lega sekarang, aku tau perasaanmu, aku janji aku bakal nyayangin kamu lebih dari apapun, kamu tau nggak kamu itu lebih dari segalanya buat aku” katanya sambil mengelus rambutku, aku berusaha duduk tegak sambil mengusap air , dia tersenyum lebar “Aku sayang banget sama kamu, jangan pernah ngomong kaya tadi lagi ya, siapa bilang kamu nggak pantes buat aku? Cuma kamu yang pantes buat aku”
“tapi kak, kita nggak bisa pacaran, kakak harus ngejauhin aku”
“kenapa? Apa lagi masalahnya? Apapun yang terjadi, kakak bakal tetep nyayangin kamu”
“Aku aids positive kak, ayah sama ibuku meninggal karna hal yang sama, dan aku nggak mau nyakitin kakak terlalu “ dia terdiam mendengar hal ini, dia hanya menatapku seperti kehilangan arah, senyumnya pun kini memudar, “Maaf kali ini aku nggak bisa nahan tangisku, ini alasan kenapa aku nolak kakak dua bulan yang lalu, aku pengen banget nyatain perasaanku tapi aku sadar siapa aku, itu kenapa ayah sama ibu sebelum mereka pergi mereka larang aku pacaran, kumohon kakak ngerti, aku tau ini nggak adil, aku tau ini jahat, aku nyembunyiin semua dari kakak biar aku bisa deket sama kakak terus, tapi kurasa aku nggak mau nyakitin kakak lebih jauh, kumohon kakak pulang sekarang, ini sudah malem” itu kalimat terakhirku sambil aku berlari meninggalkannya ke kamarku. perlahan kuintip dia dari kamarku, dia yang berjalan dengan tegak keluar pekarangan rumahku, entah apa yang ada dibenaknya saat . sakitnya pasti lebih sakit dari sakit yang kurasakan, rahasiaku kini terbongkar, hanya menunggu hitungan hari mungkin berita ini akan menyebar ke satu sekolah, dan mungkin aku harus pindah sekolah lagi seperti apa yang harus kujalani saat smp dulu, namun kini tanpa ibu, apa aku bisa?

Sabtu, 09 April 2016

Princess Lollipop #end

Keadaan tak membaik, kanak-kanak itu tetap terbaring lemas diranjangnya dengan banyak selang tertancap dikulitnya. “Sudah tak ada harapan lagi, tinggal menunggu waktu saja, ini sudah mukjizat hingga dia masih bisa bertahan sampai hari ini” dokter berkata persis demikian dihadapan semua yang menunggui kanak-kanak itu, ibu dan ayahnya menunduk sambil menyembunyikan air mata yang keluar dari mata mereka, pemuda itu duduk sambil menggenggam tangan kanak-kanak itu, air matanya juga menetes membasahi lantai dibawahnya duduk. “Tau apa dokter tentang mujizat? Tak pantas seorang dokter memprediksi hidup orang, itu urusan tuhan” Kinan memaki dokter itu, tangannya terus mengusap poni dora kanak-kanak itu sambil berbisik tak henti agar kanak-kanak itu terbangun dari masa kritisnya.
“Kinan pulang dulu, ini sudah larut sekali, kasihan orang tuamu menunggu dirumah” pemuda itu berkata pada Kinan, kedua orang tua kanak-kanak itu terlelap di sofa, kelihatannya lelah untuk menguatkan diri akan kenyataan, begitu pula pria itu.
“Aku udah ijin sama mama, aku mau nunggu Unik sampe dia bangun, aku harus liat dia bangun” Kinan terus mengucap kening kanak-kanak itu, Diaz tak menjawabnya, dia terduduk disamping Kinan sambil terus memperhatikan bagaimana infuse menetes mengalir ke tubuh peri kecil yang sangat ia sayangi, matanya lama-kelamaan semakin meredup, waktu sudah pukul 2 pagi, pantas saja pria itu tertidur.
“Unik, bangun sayang, aku disini buat kamu” Kinan berbisik ditelinga kanak-kanak itu, entah berapa kali dia berbisik kalimat yang sama berharap kanak-kanak yang terbaring lemah itu mendengarkannya. “Atau,, atau Unik emang mau tidur ya, Unik capek? Yasudah aku nyanyi buat Unik, biar tidurmu nyenyak” ucap Kinan, sambil mengusap air matanya. Akhirnya air mata Kinan terjatuh juga, sebenarnya sudah daritadi Kinan ingin menangis namun air matanya tak mau keluar, namun kini Kinan benar-benar meneteskan air matanya, sambil menyanyikan lagunya tak henti mengusap kening kanak-kanak tak berdaya itu. Dear God the only thing I ask if you is to hold her... Kinan terus melantunkan lagunya dengan suara berat, matanya tak henti mengalirkan air, sesekali dia mengecup kening kanak-kanak itu. Diaz sadar akan keadaan itu, dia terjaga karna suara Kinan yang berat, namun matanya tetap terpejam agar lagu itu tak terhenti.
Keadaan memang tak membaik, namun juga tak memburuk, akhirnya Kinan memutuskan untuk pulang sekedar membasuh diri yang sudah dua hari tak menyentuh air. Baru saja Kinan sampai rumahnya “Kinan, Unik sudah baikan” pesan singkat diterimanya, Kinan tersenyum bergegas mandi agar cepat kembali ke rumah sakit. “Kinan mau ke rumah sakit? Ikut aku aja, aku juga mau kesana bareng Kinar” ajak Awan, Kinan mengangguk. Mereka pergi kerumah sakit lagi, Kinan yang mengemudikan mobil milik Awan. “Lho, kok stop?” tanya Awan, Kinar juga tampak bingung ketika Kinan memarkir mobil dipinggir jalan.
“Tunggu bentar ya, aku beli gulali dulu buat Unik” Kinan langsung keluar dari mobil, memang tampak pedagang gulali mengayuh gerobaknya di seberang jalan yang baru saja di stop oleh anak-anak. Kinar tersenyum melihat tingkah kakaknya yang bahkan masih ingat saja membelikan kanak-kanak itu permen kesukaannya. Awan dan Kinar bisa melihat bagaimana Kinan yang berkostum serba hitam itu tersenyum ketika berbalik arah sambil menggenggam tas plastic penuh gulali itu, dia terlihat begitu bersemangat, giginya sedikit terlihat, senyumnya begitu manis walaupun ditatap dari seberang jalan, ya senyumnya begitu manis, manis sekali sebelum akhirnya motor gede menabraknya hingga Kinan terpental beberapa meter dari tempatnya berdiri tadi. Motor yang melaju dengan kecepatan tinggi itupun terjatuh setelah menabrak Kinan, motornya rusak parah, begitu pula pengendaranya, apalagi Kinan yang tak menggunakan pelindung apapun. Semua mengerumuni Kinan, yang tubuhnya penuh lumuran darahnya sendiri. polisi mengurus pengendara itu, pengendara yang memang sedang dikejarnya karena telah melanggar aturan lalu lintas.  Awan dan Kinar segera melarikan Kinan, Kinar panik sepanik-paniknya, matanya tak henti menangis melihat  Kinan tak sadarkan diri.
“Awan.. Kinar..” Kinan berbisik diranjang rumah sakit.
“Kinan bertahan, sebentar lagi mama sama ayah kesini” jawab Kinar
Kinan mencoba tersenyum “Ini nanti anter ini, kasi Unik, jangan bilang aku kaya gini” Kinan terus mencoba berbicara walau suaranya sangat kecil, Awan bingung tak berkata apa-apa melihat wanita yang dicintainya ini dalam keadaan mengenaskan. Bahkan Kinan tak melepaskan seplastik gulalinya walaupun dia terpental tertabrak sepeda hingga palstik itu tertetes beberapa tetes darah Kinan. Kringg!! Sebuah pesan singkat dari Diaz diterima dihandphone Kinan yang dipegang Kinar, mereka membacanya. “Kinan, kondisi Unik memburuk, dia nyebut namamu, kuharap kau cepat datang, setidaknya untuk melihat Unik untuk yang terakhir kali” air mata Kinan menetes lagi, Kinan tak menangis karna tertabrak, namun karna kanak-kanak itu.
“Kinan, kamu bertahan sayang” ucap mamanya yang datang dengan ayah juga Kasha dan Dian, si Mbok dan pak Karyo juga ikut datang, semua menangis melihat keadaan Kinan yang seperti ini.
“Maa,, yaahh, maafin Kinan udah sering buat kalian kecewa” ucap Kinan terengah-engah, nafasnya susah untuk diambil, semua tangis pecah, termasuk Awan. “Kinan nggak mau ngecewain kalian lagi” Kinan tersengal-sengal susah bernafas “Kalian jangan nangis, aku nggak apa-apa” lagi Kinan berhenti bicara, mengumpulkan energy untuk berbicara lagi “aku nggak mau ditangisin, jangan nangis” air mata semakin deras keluar dari semua pasang mata yang ada disana, bibir mereka berusaha tersenyum walau air mata mereka semakin deras mengalir.
Kring!! Sebuah pesan singkat diterima handphone Kinan esok harinya, dari Diaz “Kinan, ada berita gembira, sebentar lagi Unik dioprasi, cepat datang!” Kinar tersenyum membacanya, begitu juga semuanya. Kring!! Lagi dari pemuda tunangan Kinan itu “Kinan, Unik berhasil dioperasi, lancar”
“Kinan, kemana kau, ayo segera kesini, jangan sampai kehilangan moment, Unik sebentar lagi pasti siuman, awas dia tak melihatmu ketika dia membuka matanya, dia bisa merajuk padamu hingga berhari-hari” pesan itu masuk lagi, akhirnya Awan dan Kinar beranjak menuju ruang rawat kanak-kanak itu, sambil membawa seplastic gulali titipan Kinan, bagaimana mungkin Kinan menemui Unik, jadi yang menemui Unik adalah Awan dan Kinar, juga keluarga Kinan lainnya.
Tangis sekali lagi pecah dari semua mata yang melihat Unik membuka matanya perlahan, bahagia sekali melihat kanak-kanak itu bisa terbangun lagi setelah sekian lama tertidur lemah. Begitu pula keluarga Kinan, turut bahagia melihat kanak-kanak itu terbangun. Sementara Diaz bingung, matanya melirik kesana kemari mencari dimana tunangannya itu berada, begitu pula kanak-kanak yang baru saja membuka matanya itu. “Kinan mana Kinar?” tanya Diaz pada sosok yang begitu mirip parasnya dengan Kinan.
Kinar menjulurkan titipan Kinan pada kanak-kanak itu, menaruhnya disamping kanak-kanak itu, Unik masih terlalu lemah untuk menggerakkan badannya. Kinan melarangnya untuk menceritakan semua ini pada Diaz dan keluarganya, namun Kinar tak bisa menahan air matanya, begitu pula keluarga Kinan lainnya termasuk Awan. “Kenapa plastiknya isi darah?” tanya Diaz bingung melihat semuanya menangis, mama dan ayah Kinan memeluk kanak-kanak itu dengan erat sambil menciumi pipinya.
“Kinar ada disini, itu Kinan” kata Kinar tak jelas sambil menunjuk kanak-kanak yang masih lemas itu.
“Kenapa? Ada apa? Mana Kinan! Mana!” kini Diaz dalam emosinya yang meledak-ledak, tak seorangpun mau menjawabnya, malah menangis, dia bingung, “Mana Kinan!! Mana tunanganku!” sekali lagi Diaz berteriak, kini dia ikut menangis setelah mencoba menerka apa yang terjadi
“Kinan kecelakaan habis beli gulali itu, katanya buat Unik” jelas Awan, Diaz kini seperti orang gila, wajahnya memerah benar-benar marah sambil menangis histeris
“Sekarang dimana Kinan, dimana!!” Diaz bersimpuh tak kuat berdiri sambil memegangi kepalanya, kedua orang tua Diaz juga ikut bingung dengan apa yang terjadi.
“Selain titip gulali itu, dia juga titip jantungnya buat Unik” kata Awan terbata, sambil membenahi kacamatanya dan mengusap airmatanya “Kinan sudah ninggalin kita semua” Awan mencoba menarik nafas sambil menahan air matanya. “Sebenernya dia nggak mau aku nyeritain ini semua ke kalian, dia nggak mau kita semua sedih” air mata pecah dari mata kedua orang tua kanak-kanak itu, juga kanak-kanak itu ikut menangis mendengar semuanya. “Dia juga titip ini, katanya biar Unik yang pake cincinnya, dia bilang jantungnya nggak boleh pisah sama cincin tunangan kalian”
Kondisi semakin tak terkendali, mama dan ayah Kinan juga tak henti menangis mendengar bagaimana jantung anaknya berdetak di tubuh kanak-kanak itu. Kinar memberikan handphone Kinan pada Diaz, “Sebelum Kinan pergi, dia nitip pesen buat kamu, dia nggak mau aku videoin, dia nggak mau kamu sedih liat kondisinya dia, ini..” Diaz mengambil handphone yang biasanya digenggam oleh Kinan.
“Hey, abang! Lho, kok nggak dijawab, abang!” Diaz tak bisa menahan tangisnya, berat sekali mulutnya menjawab “Hey” pada rekaman itu. “Abang pasti nangis kan? Jangan nangis, abang sendiri yang bilang kalo Unik nggak suka orang nangis” Diaz berusaha mengusap airmatanya setelah mendengar kalimta dari rekaman itu. “Mungkin ini mujizat dari tuhan, sebentar lagi Unik bakalan sembuh, abang nggak perlu pura-pura jadi pacarku lagi,, hmm,, sampein salamku ke Unik ya kalo dia udah siuman, bilang maaaaaafff banget aku nggak bisa ada disana waktu dia buka matanya, bilangin ke dia maaf banget aku nggak bakal bisa main sama dia lagi, bilangin maaf banget aku nggak bisa dateng ke ulang tahunnya tahun depan, bilangin ke dia juga maaf banget aku nggak bisa ngabulin permintaannya buat nikah sama abang, dia boleh aja marah sama aku tapi bilangin jangan marah lama-lama karna aku nggak mungkin bisa mohon maaf ke dia, oiya jangan kasi dia nangis lagi ya bang, aku mau nyanyi buat Unik buat yang terakhri kalinya boleh?” Diaz mengangguk seakan benar-benar berinteraksi dengan rekaman itu “Dear God the only thing I ask of you is to hol her when I’m not around, when I much to far away” Diaz menahan sedannya, begitu pula kanak-kanak itu, teringat bagaimana Kinan menyanyikan lagu itu special untuknya. “Makasi ya bang, udah ngasi aku pelukan yang paling hangat, aku sadar aku cinta abang, daa, janji ya jagain Unik buat aku, aku tau semua kelakuan abang karna aku ada di diri Unik” ya semua tangis pecah mendengar rekaman itu, yang paling hancur itu Diaz, terus diciuminya cincin tunangan mereka yang baru kemarin ia pasangkan di jari Kinan.
*
Sejak saat itu kanak-kanak itu merubah namanya, sebagai bentuk penghormatan pada Kinan, dari Candra Maharani menjadi Kendran Maharani, penyatuan dari kata Keenan dan Candra. Sulit sekali bagi abang Diaz untuk menjalankan hidupnya tanpa Kinan, begitu juga aku yang sudah terbiasa untuk hidup denganmu. Terimakasih Kak Kinan sudah membuatku mempunyai dua keluarga sekaligus, keluargaku dan keluargamu. Abang terus menerus memandangi fotomu yang kudapat dari kamarmu, sekarang siapa pula yang aku ajak berebut lollipop dan es cream seperti dulu? Kini aku kuliah sama ditempatmu dulu, mengambil jurusan yang sama berharap cita-citamu dapat kuteruskan, menjadi dokter specialis jantung yang handal, kakak tau? Abang anak pertamanya sudah lahir, namanya Keenan Alexandrea, persis kaya nama kakak. Makasi ya kak, buat segalanya,,
Kendran Maharani;

Princess Lollipop #10

Baik, baik, semakin membaik, semua semakin membaik, termasuk kuliah Kinan, kesehatan kanak-kanak itu, juga hubungan Kinan dengan keluarga kanak-kanak itu setelah orang tua kanak-kanak itu bisa menyaksikan sendiri bagaimana Kinan sebenarnya bukan seperti Kinan nampaknya. Yang berubah hanya Awan, bukan berjalan sesuai rencana, Awan malah semakin menyukai Kinan walaupun dia sudah berusaha keras untuk mencintai Kinar. Ya mungkin inilah yang dimaksud dengan cinta, tak dapat dipaksakan, tumbuh dengan sendirinya, tak dapat dikendalikan. Kasihan kadang melihat Kinar yang berpacaran dengan orang yang hanya menganggapnya sebagai seorang adik, tak lebih. Kinar dan Awan memang sudah berpacaran, orang tua dari kedua belah pihak juga sudah mengetahui hubungan mereka berdua, dan kedua orang tua mereka juga tak ada masalah dengan hal ini. Disisi lain Kinan bingung dengan perasaannya, Jack akhir-akhir ini memang sering sekali ke rumah, bicara tentang pertengkarannya dengan Christ, itu membawa udara segar bagi Kinan, dia berharap rumah tangga mereka hancur, bagaimanapun juga Kinan masih sangat menyayangi Jack, tapi di pihak lain ada Awan yang memang telah memikat hatinya, Kinan sadar dia tak boleh jatuh hati pada Awan agar tak melukai hati adiknya.
Kala itu Kinan sedang mendiskusikan sesuatu dengan Awan sambil melegakan rindunya. Memang sejak Awan berpacaran dengan Kinar, Awan lebih sering meluangkan waktu untuk Kinar, dan saat-saat seperti ini sangat mereka rindukan, dua remaja hitam putih ini merasakan kehangatan ketika mereka mengobrol berdua seperti ini, walaupun mereka tak bisa menyatu setidaknya masih ada waktu untuk mereka berdua seperti ini, ini sudah cukup melegakan bagi mereka berdua. Awan tau betul jika Kinan mencintai dirinya, walau cintanya tak sebesar cinta Kinar. Kinan sengaja tak mengungkapkannya, ia hanya takut adiknya mengetahui perasaan ini, dan hati adiknya terluka lagi, bagi Kinan kebahagiaan Kinar sangatlah penting, jauh lebih penting daripada kebahagiaannya.
“Kakak!!” teriak kanak-kanak itu masuk ke ruangan mengganggu diskusi antara Kinan dan Awan. Kenapa pengganggu ini harus dateng sih, nggak tau aku lagi berduaan sama Awan kali, ah nyebelin Kinan kesal dengan datangnya kanak-kanak yang langsung duduk dipangkuannya itu. Setelah setiap waktu harus mengurus keponakannya sekarang saat ada waktu yang membahagiakan bagi Kinan, kanak-kanak ini malah datang dan merusak segalanya. Darimana juga kanak-kanak ini datang, sebelumnya kanak-kanak nakal ini memang belum pernah datang kesini. “Kakak kenapa sama om dokter? Kakak kan pacarnya abang!” kanak-kanak itu bertanya dengan wajah serius kepada Kinan. Kalimat apa yang diucapkannya barusan, hubungan Kinan dan Awan bisa bertambah buruk kini.
“Maksudnya apa? Kinan,, ini bukannya pasien rumah sakit ayahku ya?” Awan melontarkan pertanyaan pada Kinan dengan wajah yang lebih serius lagi, kini Kinan bingung ingin menjawab apa.
“Kinan, jangan didalem mulu, ada tamu tuh di depan!” teriak Kinar yang membuat wajah serius Awan menghilang, “Kak Awan ayoo kita berangkat” Kinar kembali teriak manja, sebelumnya Kinar memang sudah berjanji untuk makan bersama dengan pacarnya, Awan. Kinan beranjak dari tempat duduknya, menuju ruang tamu, sambil menggandeng kanak-kanak itu. Langkahnya seketika terhenti melihat siapa yang menjadi tamunya hari ini.
“Abang!” bibir Kinan mengucap kata itu kecil namun terdengar oleh semua yang ada disana. Pemuda itu tersenyum, juga kedua orang tuanya dan orang tua Kinan juga. Kinan menarik pria yang kanak-kanak sebut abang itu ke teras rumah, tarikannya keras sekali nampak seperti menyeret, orang tua mereka tak peduli malah asyik melanjutkan perbincangan mereka, sementara kanak-kanak itu mengikuti Kinan dan abangnya. “Kamu apa-apaan sih, ngapain orang tuamu kesini, pake udah ngobrol sama mama sama ayah lagi, kalo mereka bertengkar siapa yang mau tanggung jawab?!” Kinan memaki pria itu sangat tajam, kanak-kanak itu bingung mengapa Kinan malah marah pada abangnya, sedang pria itu kaget dengan tingkah Kinan yang lebih menakutkan dari segalanya yang menakutkan.
“Kakak” kanak-kanak itu menyela pertanyaan Kinan yang terus terlontar, namun tak dihiraukan oleh Kinan, dia malah terus menatap pria itu tajam sambil terus melontarkan ribuan pertanyaan yang lebih mirip dengan ancaman. “Kita kesini mau jemput kakak, tapi kalo kakak nggak mau yaudah, jangan marahin abangnya Unik” kanak-kanak itu malah memarahi Kinan. Seketika Kinan menghentikan pertanyaannya setelah mendengar pernyataan itu, Kinan menatap kanak-kanak yang kini membesarkan matanya seolah marah pada Kinan.
“Unik, jangan gitu, Kinan nggak salah kok” pria itu membujuk adiknya sambil menatap Kinan. “Jadi gini, hari ini ulang tahun Unik, kita mau ngajak kau ngerayain soalnya Unik ngotot agar kau ikut, ayah sama ibuku juga katanya pengen kenal sama keluargamu, setahu mereka kan kita pacaran jadi mereka pengen kenal gimana keluarga dari pacarku” jelas pria itu sambil menggendong adiknya, sementara kanak-kanak yang ada digendongan abangnya itu manggut-manggut seakan ikut menjelaskan. Kinan terdiam, bingung dengan apa yang harus dia lakukan. “Jadi gimana? Kau ikut kan?” pria itu bertanya sebelum Kinan menanggapi apapun, Kinan semakin bingung ingin menjawab apa.
“Ikut aja, ayoo ikut ya kak” kanak-kanak itu menaik-naikkan kedua alisnya pada Kinan “Disana kata abang ada banyak balon sama permen, ada banyak boneka juga lho, abang udah siapin semuanya buat aku” rayuan kanak-kanak itu pada Kinan, namun Kinan tetap bingung dan diam tak menyahut sedikitpun. Kanak-kanak itu turun dari gendongan abangnya sambil berlari kedalam berteriak “Ibu Unik mau pipis” pemuda itu tertawa melihat adiknya, begitu pula dengan Kinan.
“Unik cantik ya” Kinan bicara sambil terus menatap kanak-kanak yang menjauh dari mereka, memang cantik kanak-kanak itu mengenakan dress putih dengan motif pink dan merah darah itu, lengkap dengan bandana dan rambut panjangnya yang terurai, sepatunya juga lucu penuh motif boneka, semua mata juga pasti akan mengatakan hal yang sama, bahkan mereka yang tak tahu pasti mengatakan kanak-kanak itu sangat beruntung dilahirkan begitu sempurna.
“Yaa memang cantik, wajahnya memang tak pernah menunjukkan betapa menderitanya dia mengidap penyakitnya” Kinan terhenti senyumnya mendengar kalimat itu terucap, wajahnya seketika berubah. “Dokter udah nyerah sama kondisi Unik, jantungnya udah drop nggak terkontrol, dia suka banget ulang tahun, dia suka tiup lilin, makanya hari ini aku mau buat semuanya sempurna buat Unik, mohon, aku mohon kamu ikut, jadiin ulang tahun terakhir Unik menyenangkan” Kinan menghela nafas panjang mendengar kalimat itu berakhir. Pria itu menoleh pada Kinan, memberi tatapan penuh pinta agar Kinan ikut.
“Tapi kamu tau sendiri kan Bang, orang tuamu sensi sama aku, gimana aku mau ikut”
“Ini bukan tentang ayah sama ibuku, ini tentang Unik”
Kinan terdiam, tak dapat berkata, Kinar dan Awan lewat didepan mereka pamit akan pergi, hingga akhirnya mobil Kinar dan Awan tak terlihat dari pandangan Kinan, dia tetap tak menjawab. Pria itu melangkahkan kakinya, beranjak menuju kedalam, tapi sebelum itu Kinan menarik baju pria itu hingga dia menoleh kearah Kinan. “Oke, aku ikut” jawaban Kinan sambil tersenyum, pria itu juga tersenyum. Tak perlu banyak menit bagi Kinan untuk bersiap-siap, stylenya tak akan berubah, baju kaos hitam, jeans hitam, sepatu hitam, jam tangan hitam, ya seperti biasanya. Aromanya maskulin sejati, “Ayo, aku siap” kata Kinan, semua mata menatapnya, Diaz, Unik, orang tua mereka dan orang tua Kinan pula.
“Kalian semua duluan saja, Kinan akan menyusul” ucap mama Kinan dengan segera, Kinan bingung, apa yang salah, ini kan style nya kenapa semuanya menatap dirinya seperti itu, biasanya juga dia seperti ini namun tak ada yang protes. Apa juga maksud mamanya yang menyuruh mereka duluan, mereka pergi, kecuali Diaz, dia menunggu Kinan, orang tuanya yang menyuruhnya seperti itu. “Kenapa sih mesti pake baju kaya gitu? Berapa kali mama harus ajarin kamu, kalo dandananmu kaya gitu itu nggak lebih bagus daripada satpam tau nggak sih” omelan mama Kinan sambil menarik Kinan ke kamar, Diaz hanya tersenyum melihat Kinan tunduk pada mamanya. Kini berlangsung lama, benar-benar lama, perdebatan panjang berlangsung di dalam kamar, Kinan tak mau memakai dress dress warna warni itu sedangkan mamanya mengharuskannya memakainya. Wajar saja sih mama Kinan bertindak seperti itu, dia jelas malu karna ibu kanak-kanak itu saja mengenakan dress sexy masak anaknya malah mengenakan pakaian satpam seperti itu.
“Waah peri cantik” Diaz langsung mengucap seperti itu ketika melihat Kinan datang keruang tamu.
“Abang apaan sih, jangan ledek aku” Kinan teriak pada orang yang sudah sangat lama menunggunya disana. Diaz hanya tersenyum, melihat kelakuan Kinan, dia bahkan tak bisa berjalan tegak menggunakan wedges yang dipakainya. Tapi sungguh Kinan terlihat sangat berbeda, rambutnya berubah seketika tak seperti biasanya, gaunnya, warna gaun biru muda itu terlihat cocok sekali dikulit yang biasanya terbalut kain hitam itu. Mereka pergi, dengan mobil Kinan, semua orang rumah juga takjub melihat Kinan, Kasha, Dian, Ayah, tak menyangka ternyata Kinan ternyata wanita tulen.
“Cinderella, kakak kaya Cinderella” Kanak-kanak itu berlari memeluk Kinan yang baru turun dari mobilnya, kedua orang tua kanak-kanak itu juga tersenyum, melihat Kinan berubah 180%. Hati-hati sekali Kinan berjalan sambil memegang erat tangan pemuda yang sering dipanggilnya abang itu, mungkin siput lebih kencang larinya daripada jalan Kinan hari itu. Diaz tak henti tersenyum, merasakan jantungnya berdetak lebih kencang daripada sebelumnya, Kinan menggenggam tangannya begitu erat, itu membuatnya merasakan sesuatu yang aneh yang tak pernah dirasakannya sebelumnya.
“Pussshhhh” lilin itu mati tertiup angin yang terhembus dari mulut kanak-kanak itu, Kinan biasa saja sebenarnya, karna sejujurnya dia tak terlalu suka ulang tahun, Kinan hanya takjub melihat bagaimana taman ini dihias oleh Diaz hingga rapi seperti ini, tak henti Kinan melihat-lihat sekitarnya, dia tak berani pindah tempat, takut terjatuh jika berjalan, kan dia tak bisa pakai wedges. Dia duduk tenang sambil mengemut lollipop kesukaannya, mendengarkan keluarga kanak-kanak itu berbagi tawa satu sama lain, Kinan iri sebenarnya dengan keluarga ini yang sangat akrab satu sama lain tak seperti keluarganya.
“Unik tadi make a wish apa?” tanya Kinan setelah lollipop ketiganya habis, kanak-kanak itu tersenyum sambil berjalan mendekati Kinan kemudian duduk dipangkuan Kinan, namun abangnya mengangkat Unik dan menaruhnya dipangkuannya. Kanak-kanak itu tak meronta, biasanya dia tak mau pindah dari pangkuan Kinan, Kinan terus memperhatikan kanak-kanak itu, kanak-kanak itu tersenyum, tenang, wajahnya pucat, lebih pucat dari biasanya, tapi masih bisa tersenyum
“Unik berharap abang nikah sama kakak” semua tertawa mendengar kalimat yang keluar tadi kecuali Kinan. “Abang mau kan kabulin doa Unik?” kanak-kanak itu menatap penuh pinta pada abangnya. Pria itu mengangguk, sambil mengeluarkan sebuah cincin cantik, menatap Kinan dengan penuh rasa, sebenarnya Diaz canggung untuk melakukan hal ini, namun semua telah ia persiapkan.
“Kinan, jadilah tunanganku” kata-kata itu membuat Kinan tercengang, kedua orang tua Diaz tersenyum, mereka telah mempersiapkan ini semua dengan baik
“Apa-apaan sih kamu, katanya kita pacaran buat Unik, sekarang masak mesti tunangan juga, aku nggak mau kaya gini, ini bukan main-main bang!” Kinan marah, entah mengapa, wajah semua yang ada disana juga tercengang
“Aku, aku tulus suka sama kamu, aku tulus cinta sama kamu, bukan karna Unik, bukan karna siapapun, rasa ini ada bukan karna apapun, aku cinta sama kamu, jadi tunanganku, kumohon” Diaz menyatakannya dengan sempurna hingga Kinan tak dapat berkata-kata lagi, “Julurin tanganmu kalo emang kamu mau tunangan sama aku, biar aku pakein cincin ini ke jari manismu” Diaz melanjutkan bicaranya. Seketika Kinan berpikir keras, sambil melihat wajah kanak-kanak yang semakin memucat itu tersenyum padanya seakan meminta agar Kinan mengabulkan keinginannya. Bagimana dengan perasaannya pada Jack dan Awan? Kinan mencintai keduanya, mana mungkin Kinan bertunangan dengan Diaz yang bahkan belum dikenalnya dekat walaupun terkadang Kinan juga suka memikirkannya sebelum ia tertidur. “Aku sudah minta restu sama orang tuamu, jadi kumohon, jadilah tunanganku, kita nikah setelah kita wisuda nanti” kalimat itu membuat Kinan makin bingung.
“Oke, aku mau hidup berdua sama kamu” ucap Kinan setelah beberapa menit terdiam, senyum yang bahagia mengembang di wajah setiap orang yang ada disana, ibu Diaz memeluknya, memeluk Kinan dengan hangat, kemudian mengecup kening Kinan, Kinan tersenyum, merasakan betapa nyamannya dipeluk oleh seorang ibu seperti itu. Kemudian Diaz, memasangkan cincin indah itu dijari manis Kinan, walau cincin itu agak besar di jari Kinan, pria itu tersenyum bahagia pada Kinan, Kinan hanya menatapnya dengan pandangan penuh arti, kemudian Diaz memeluk Kinan, dengan erat. DEG! Jantung Kinan rasanya tak berdetak lagi, darah sepertinya berhenti mengalir ditubuh Kinan, perasaan apa ini hingga Kinan merasakan sesuatu yang lebih nyaman daripada pelukan ibu tadi, Kinan memejamkan matanya, berusaha mengambil oksigen namun yang tertangkap adalah harum parfum Diaz.
“Makasi ya kak” Kanak-kanak itu ikut berpelukan, dia mengganggu pelukan abangnya hingga abangnya melepas pelukannya dengan Kinan, Kinan tertawa sambil mengelus kanak-kanak yang memeluknya dengan erat itu. “Kakak udah nikah sama abang, jadi jangan tinggalin Unik lagi, harus tinggal dirumah Unik” ucap kanak-kanak itu sambil mengeratkan pelukannya, Kinan hanya mengangguk. Lama sekali kanak-kanak itu memeluk Kinan hingga pelukannya kian detik kian melemah, pelukan itu tak bertenaga lagi.
“Unik!” Kinan tersadar kanak-kanak yang memeluknya itu kini tak sadarkan diri. Semua panik, melarikan kanak-kanak yang pucat pasi tak bertenaga itu ke rumah sakit, sedangkan Kinan mengikuti mobil keluarga itu dengan mobilnya sendiri, wedgesnya dilepaskannya begitu saja, ia tak bisa berjalan menggunakan benda itu. Tatapan mata itu tertuju bukan pada Unik yang dimasukkan ke UGD namun ditujukan pada Kinan yang mengenakan gaun namun tak menggunakan alas kaki, namun Kinan tak peduli.

Princess Lollipop #9

Pagi sekali, ayam belum berkokok tapi Awan sudah sibuk memencet-mencet bel  rumah keluarga Kinan, namun hasilnya pasti nol, semua keluarga ini kebo, sebelum jam weker berbunyi mereka tak akan terbangun, yang bangun hanya Pak Karyo, sopir serba bisa, bisa jadi security, tukang kebun, sekaligus jadi penyambut tamu. Kinan tak bangun, yang bangun Kinar, memang ini yang Awan cari, membuat Kinan bahagia dengan cara menjaga adiknya. Tak sulit bagi Awan untuk membuat Kinar tertawa karna mereka memang sudah saling mengenal dengan baik. Siapa juga pria yang tak suka pada Kinar, yang cantik, ramah, ceria.
Kinan tak juga bangun, orang yang biasa membangunkannya sedang jogging bersama Awan, jadi tak akan ada orang yang membangunkan Kinan. Hingga Kinan terbangun sendiri, sadar mata sudah terlalu lama tertidur. Membuka gorden dan jendela, merasakan pagi yang begitu hangat, sebenarnya ini bukan pagi, sudah jam 10. Kehangatan pagi itu juga dirasakan semua keluarga, jarang pagi di musim penghujan disinari matahari. “Ayo, Unik makan dulu, dikit aja, jangan sampe masuk rumah sakit lagi” kanak-kanak itu menggeleng, terus memainkan barbienya di meja makan. Lembut, meninggi, meninggi, hingga nada keras sudah diberi tapi tetap menggeleng. Ayahnya geram karena  melihat semuanya putus asa memberitahu kanak-kanak itu namun tetap menolak. “Unik makan, ayoo!!” suara ayahnya sangat keras membentak sambil merebut barbie itu dari genggaman anaknya, mata kanak-kanak itu memerah, menyipit, berkaca-kaca, kemudian ia menangis keras, bisa dikatakan merajuk, sambil memaki berkata bahwa hidupnya sudah sedikit lagi jadi biarkan dia menghabiskan waktunya dengan boneka kesayangannya, mengatakan bahwa ayahnya jahat padanya, sudah 10 menit rajukannya tak juga usai, suasana makin parah, semua kacau, sarapan pagi berantakan, seluruh rumah dipenuhi suara tangisan kanak-kanak itu.“Abang Diaz ajak Unik keluar biar mau makan” ayahnya kembali bernada agak keras, merasa bersalah telah membentak anaknya.
“Yang bisa diemin Unik cuma Kinan yah, jadi bolehin Unik ketemu Kinan”
“Apa-apaan kamu, Unik nggak boleh bergaul sama anak nggak terurus kaya dia”
“Yasudah abang nggak mau ikut campur lagi, silakan ayah yang urus Unik, terserah ayah” pemuda itu untuk pertama kalinya berani menentang ayahnya “Ayah udah liat kan setelah ayah pisahin Kinan sama Unik, apasih mau ayah, sekolah Unik nggak boleh, punya temen nggak boleh, seburuk apa sih Kinan sampe nggak boleh ditemenin yah! Aku capek!” pemuda itu meninggalkan meja makan, untuk pertama kalinya juga ia meninggalkan kanak-kanak yang begitu dicintainya saat menangis. Selama ini mereka selalu bersama, kecuali saat Deiaz sekolah, tak sedetikpun ia melewatkan waktunya tanpa malaikat kecilnya, bahkan tidurpun ia bersama dengan malaikat kecilnya.
Tangis tak juga berhenti, walaupun kanak-kanak itu mulai lemas menangis, nafasnya terengah-engah kekurangan nafas, anak kecil memang susah ditebak, bonekanya sudah dikembalikan namun tangisnya tak reda jua. Tak mempan oleh apapun, rayuan, atau segala macam, hingga akhirnya ia tertidur sendirinya, ditengah tidurnyapun ia masih tersedan-sedan menangis. “Abang” ayah masuk ke kamar pemuda itu yang ternyata tak dikunci, pria itu menoleh dengan tatapan sinis pada ayahnya “Kalo emang menurutmu itu yang terbaik, buktiin sama ayah”
“Bener yah? Oke sekarang aku telpon Kinan” pria itu nampak begitu bersemangat, nampaknya dia juga rindu dengan Kinan
“Pria sejati itu menjemput bukan menelpon, jemput dia, semakin cepat dia kesini semakin baik, tapi ingat kalo ini tidak berhasil dia sama sekali harus menjauhi Unik” pemuda itu mengangguk, mengambil kunci motor serta jaketnya yang tergantung dibelakang pintu, mengecup kening adiknya sebelum beranjak. Semua telah diatur oleh tuhan dengan sangat rapi, tepat saja Kinan sedang menyiram bunga di taman depan rumahnya. Bunga? Ya hari ini entah kenapa Kinan tersenyum melihat bunga yang mekar semerbak, dia langsung mengambil air untuk pohon bunga itu minum walaupun tanah masih basah karna air hujan semalam. Kinan langsung naik ke motor pemuda itu, tanpa berpikir panjang, meninggalkan rumah bahkan tanpa ijin dari kedua orang tuanya, hanya saja ia sudah meneriaki Pak Karyo bahwa ia akan pergi. Pria itu menceritakan semua yang terjadi, ada satu dua bagian yang sengaja dilebih-lebihkannya untuk meyakinkan Kinan, Kinan ikut panik sekaligus senang karna dua sosok yang dirindukannya kini dapat bertemu dengannya lagi. Jika dipikir memang aneh, darimana pula pemuda itu tau rumah Kinan, yang pasti itu tak penting, yang penting keadaan kanak-kanak itu.
Kinan berdiri kaku melihat kanak-kanak yang tertidur di sofa sambil tersedu menangis, ia ingat betul dulu dia sering seperti ini ketika dipaksa mengalah untuk Kinar oleh kakeknya, semua terekam begitu jelas diingatan Kinan, dia dulu percis seperti ini, dan dulu ketika ia menangis seperti ini pasti ada satu hal yang membuatnya berhenti menangis, sesuatu yang belum pernah dirasakan olehnya. Kinan menaikkan satu alisnya, menatap kearah pria yang mengajaknya kemari, pria itu mengangguk sambil menjulurkan semangkuk bubur, tapi Kinan menolak bubur itu sambil menggeleng. perlahan Kinan jongkok sambil merapikan poni yang basah karna keringat, kemudian menyatukan hidungnya dengan hidung kanak-kanak itu, dekat sekali mereka hingga Kinan merasakan sedu sedan nafas kanak-kanak itu. “Unik, aku disini buat kamu” bisik suara Kinan yang terasa sangat berat keluar dari kerongkongannya, alis kanak-kanak itu menaik, matanya terbuka perlahan, sejalan dengan wajah Kinan yang menjauh dari wajahnya. Tersenyum, kanak-kanak itu langsung bangun sambil memeluk erat tubuh Kinan, erat sekali sambil terus tersenyum seakan telah berpisah berpuluh-puluh tahun.
“Kenapa kakak baru dateng sekarang? Unik capek nunggu kakak, Unik marah sama kakak” kanak-kanak itu memajukan bibirnya beberapa senti sambil melipat kedua tangannya didadanya. “Ngapain kakak dateng kesini, kakak nggak sayang Unik kan?” tingkah kanak-kanak itu membuat Kinan tersenyum namun tertahan. Kinan berdiri, mendekati pria yang kanak-kanak sebut abang itu, kemudian memeluknya erat, pria itu berdiri kaku, perasaan yang aneh kini menyerangnya, wanita pertama yang memeluknya selain adiknya sendiri adalah Kinan, ingin rasanya pria itu tersenyum merasakan sesuatu yang aneh yang menyerang hatinya, namun dia tetap bersikap seperti tak terjadi apa-apa. “Ngapain kakak peluk abangnya Unik!” kanak-kanak itu galak
“Aku kan pacarnya abang, abang kan sayangnya sama aku aja, nggak sama kamu” Kinan mengejek kanak-kanak itu sambil memeluk lelaki itu semakin erat, lelaki itu akhirnya tak dapat menahan senyumnya lagi, perasaan ini menggelitik hatinya, sungguh pria itu ingin tetap seperti ini seterusnya. Disisi lain ayah kanak-kanak itu hampir saja ingin mencaci Kinan namun tertahan oleh ibu yang melarangnya, menyuruhnya melihat apa yang akan terjadi selanjutnya.
“Abang itu punya Unik, abang itu sayang sama Unik, nggak boleh sayang sama orang lain, Unik yang nomer 1, pacarnya nomer 2, jangan ambil abang dari Unik! Lepas pelukannya” kanak-kanak itu tak terima kemudian ikut mendekati pria itu kemudian memeluknya, walau hanya dapat memeluk kaki abangnya.
“Abang sayangnya cuma sama aku, buktinya dia mau suapin aku, ya kan bang?” Pemuda itu tersenyum sambil menyuapkan satu sendok bubur kearah mulut Kinan, kanak-kanak itu melompat-lompat mencoba menyentuh tangan abangnya
“Abang suapin Unik juga” akhirnya kata-kata itu terucap juga, Kinan tersenyum mendengarnya, begitu pula pria itu dan kedua orang tuanya, satu sendok bubur akhirnya masuk ke mulut kanak-kanak yang terus memeluk kaki abangnya itu. “Tu kan, abang sayangnya sama Unik” kanak-kanak itu memamerkan kasih sayang kakaknya dihadapan Kinan, Kinan melepas pelukannya berpura-pura jengkel karna kalah, sedang kanak-kanak itu tersenyum cerah merasa menang sambil terus makan bubur yang disuapi oleh pria yang dipanggilnya dengan sebutan abang itu, hingga suapan terakhir habis. Entah karna lapar atau mungkin lelah setelah lama menangis, semangkuk besar bubur habis dilahapnya sendiri. kanak-kanak itu duduk dipangkuan pria yang dipanggilnya dengan sebutan abang itu, sambil bercanda dengan Kinan dan pria yang memangkunya, ia terus memeluk barbienya, hingga pandangannya mulai meredup, ucapannya juga jarang yang menyahut, sesekali matanya mengatup namun terbuka lagi.
“Unik tidur yuk?!” ajak pria yang sedang memangkunya
“Nggak, Unik masih mau main sama Kakak sama Abang!”
“Mainnya nanti aja, baru bangun”
“Nggak! Ntar kakak pulang” nada kanak-kanak itu meninggi
“Unik, aku diem disini kok, hari ini aku mau main sama Unik, aku juga ngantuk, tidur yuk” Kinan berusaha membujuknya dengan suara lembut, pria itu menoleh, tersadar ternyata Kinan juga punya suara selembut itu. Kanak-kanak itu mengangguk, Kinan mengantarnya ke kamarnya, bahkan dia menyuruh Kinan berbaring disampingnya sambil menceritakan sebuah cerita. Sebuah cerita? Kinan hanya tau cerita horror atau cerita action, bagaimana dia bisa bercerita agar seorang anak tertidur dengan cerita horror. “Nyanyi aja ya?” tawar Kinan, kanak-kanak itu mengangguk. Nina bobok? Kasih ibu? Bukan itu lagu yang dinyanyikan Kinan, melainkan lagu dear God-Avenged sevenfold. Tertawa kecil pemuda itu mengintip dan menguping bagaimana Kinan menyanyi, suaranya merdu, hingga nampak lucu, seorang preman seperti Kinan bisa menyanyi semerdu itu.

Kanak-kanak itu kini benar-benar tertidur lelap sambil memeluk tubuh Kinan, Kinan hanya menatap kanak-kanak itu, sambil tak henti melantunkan lagunya. Mengingat bagaimana dulu kakeknya menyanyikan lagu yang kini telah dilupakannya, sambil mengelus-elus rambutnya hingga Kinan tertidur, tersenyum Kinan mengingat itu semua. Ragu Kinan menggerakkan tangannya untuk mengelus poni kanak-kanak itu, takut kanak-kanak yang sedang tertidur lelap terbangun karna sentuhan tangannya, namun ternyata tidak, kanak-kanak itu tertidur begitu lelapnya hingga tak sadar tangan Kinan menyentuh kepalanya. Saat kedua orang tua kanak-kanak itu melihat bagaimana keadaan putrinya, seketika mereka tersenyum, putrinya tertidur lelap setelah makan dengan lahapnya, dan yang lebih membuat mereka tersenyum adalah Kinan, bukan karna tersadar bahwa Kinan tak seburuk penampilannya namun karna melihat Kinan ikut tertidur lelap bersama kanak-kanak itu. Ah Kinan, apa yang telah ia lakukan!

Princess Candy #8

Segala sesuatu terjadi pasti punya sebab, tak ada satupun sesuatu yang terjadi tanpa sebab, hujan terjadi karna adanya kondensasi, kekeringan terjadi karna kemarau panjang, semut mati karna ada yang menginjak mungkin, dan semua-muanya dipermukaan bumi ini tak luput dari hukum sebab akibat, lantas apa yang menyebabkan orang membenci? Tentu karna yang membenci tak menyukai sesuatu yang dibenci. Tapi mengapa ada perasaan benci? Apa hanya karna kesalahan orang patut dibenci? Begitu juga dengan perasaan lainnya yang muncul entah karna apa, perasaan itu tak dapat ditebak, tak dapat dijelaskan secara logika, abstrak, maka dari itu Kinan tak pernah memikirkan perasaannya sedikitpun secara berlebihan, berbeda dengan orang kebanyakan yang bertindak karna mengikuti perasaan, termasuk Kinar, Mama, Ayah dan mungkin seluruh manusia kecuali Kinan. Ia tak pernah memikirkan apapun secara berlebihan, itu karena Kinan juga pernah seperti orang kebanyakan yang selalu bertindak karna perasaannya, dan perasaannya selalu sakit, entah mengapa, dan itu membuatnya merasa telah diperbudak oleh perasaan, Kinan tak suka diperbudak oleh apapun.
Uang hilang, Kinan tak sedih sedikitpun, menurutnya ya mau bagaimana lagi, namanya juga hilang. Sekalipun pencurinya ditemukan mungkin Kinan akan membebaskannya. Kinan itu semacam sudah mati rasa, cerita hidupnya terlalu aneh untuk dicerna, kecelakaan patah tulang tak menangis, atau menyumpahi sesuatu yang membuatnya patah tulang, namun perasaannya tak punah sempurna, dia masih marah ketika mobil atau motornya tergores, atau benda kesayangannya seperti lollipop dan es cream direbut darinya. Perasaannya memang tak hilang, hanya mati suri, ia hanya tak mau diperbudak oleh perasaan. Sudah terhitung berbulan-bulan Kinan menjalani hidupnya kembali, balapan, kuliah, menjalankan hobinya ya semuanya berlangsung dengan baik, seperti biasanya, Awan juga semakin dekat dengan Kinan juga keluarganya. Keluarga mereka satu sama lain juga sudah mengenal dengan baik, jika orang tak tahu pasti menduga hubungan Kinan dan Awan sudah bertunangan, sama seperti menduga bahwa Kinan dan Kinar adalah kembar.
Libur semester kembali, hari membosankan kembali bagi Kinan, ini artinya tak ada satupun yang harus ia kerjakan, bagaimana pula ia mendapat alasan untuk menjalankan hobi balapnya, alasannya keluar sampai malam itu kan buat tugas, kini sudah libur, mau buat tugas apa? Sehari-hari hanya main PS, atau main basket sendirian, yang paling mengasyikan baginya itu saat senja hari ketika keluarganya semua berkumpul, mereka bisa main band, Kinar di piano, Kasha di bass, kedua orang tua mereka mengisi suara, Dian menjadi penonton dengan si kecil, kadang Awan juga ikut di biola, Kinan pasti di drum, tapi karna kedua orang tuanya tak suka lagu beraliran rock atau semacamnya jadi Kinan kadang juga ada di gitar. Kinan memang suka music, begitu pula Kinar, dan seluruh keluarga, siapa juga didunia ini yang tak suka music? Tapi keluarga ini memang pandai bermain music, termasuk melantunkan nada berirama.
Kinar bahkan diterima di universitas seni dengan mudah. Kinar memang gemar sekali tentang seni, mulai dari music, tari, hingga grafis. Tapi biasanya dia kesulitan di seni lukis, tangannya tak terlalu mahir menggoreskan cat diatas kanvas, dia perlu sketsa, ia hanya mahir mewarnai, Kinar mahir memadupadankan warna dengan baik, sama seperti Kinar memadupadankan warna atasan dan bawahan pakaian yang ia pakai. Biasanya Kinar meminta bantuan siapa saja yang ada dirumahnya untuk membuatkannya sketsa. Keluarga Kinar mungkin keluarga yang sangat bahagia, tak kekurangan apapun, harta, bakat, mungkin hanya kekurangan waktu kebersamaanlah satu-satunya kekurangan keluarga ini, karna Kinan yang paling sering berada bersamanya, maka Kinan yang paling sering membuatkannya sketsa jika ada materi melukis. Berbeda dengan Kinar, Kinan pandai sekali melukis, tetapi lukisannya tanpa warna, hanya ada warna hitam dan warna kertas atau kain kanvas.
Meninggalkan itu semua, pernah suatu sore Kinan sedang bermain PS dengan Awan, Kinar datang dengan mata yang basah. Kinan memang sering melihat Kinar menangis, dan setiap Kinar menangis Kinan selalu membencinya, karna sejak kecil mama dan ayah mereka selalu memarahi satu diantara mereka yang membuat yang lainnya menangis, agar tak dimarahi mama dan ayah biasanya Kinan membujuk adiknya untuk menelan tangisnya, bahkan Kinan mencari penyebabnya hanya agar tak dimarahi mama dan ayah. Kali ini juga sama, Kinan panik, takut mama dan ayah tau Kinar menangis dan memarahinya. Kadang Kinan itu aneh, mana mungkin mama dan ayah akan memarahinya, kan bukan dia yang membuat Kinar menangis, melainkan seorang pemuda yang harus berpisah dengan Kinar karna mereka pisah universitas. Wanita memang aneh, tepatnya Kinar, padahal dia sendiri yang menyudahi pria itu namun dia sendiri yang menangis, bagaimana pula Kinan dapat menyelesaikan masalah sepelik ini. Ini juga bukan hal yang biasa Kinar lakukan, biasanya dia malah bersorak senang ketika berhasil memutuskan hubungannya dengan seorang pria yang tak lagi disukainya.
Awan tersenyum melihat Kinan yang kebingungan seperti itu, lantas menaruh kepala Kinar dibahunya, sambil memberikannya tissue. Kinan bingung, untuk apapula cara seperti itu, dia hanya melihat adiknya yang terus bercucur air mata bersandar dibahu Awan. “Kinar, udahlah, semua cuma tentang waktu kok, di universitas kamu bakal ketemu cowok yang lebih baik daripada dia, yang kemampuannya juga lebih daripada dia” Awan menasehati Kinar yang malah semakin sedih, tangisnya semakin tak dapat dikontrol, Kinan semakin bingung, hingga beberapa kali menggaruk kepalanya, sudah berapa tahun Kinar tak menangis, ia bingung harus melakukan apa. Awan membenahi kacamatanya, sambil mengelus dada yang berarti menyuruh Kinan tenang, perlahan tangan pria itu menyentuh rambut Kinar yang terurai, mengusap-usap kepalanya, jantung Awan berdetak cepat, bukan karna merasakan sesuatu yang aneh, tapi karna takut Kinan marah melihatnya melakukan hal ini, tapi nyatanya Kinan biasa saja. “Yasudah, aku ngerti perasaanmu, Kinar nangis aja dulu, mungkin itu bisa buat kamu tenang” sekali lagi Awan membenahi kacamatanya sambil mengelus kepala Kinar dengan lembut, sementara Kinan terus memperhatikan adiknya yang tangisnya semakin lama semakin mengecil, hingga tangis itu berhenti, Kinar tertidur dibahu Awan.
Malam sudah pekat ketika Kinan hampir tertidur dengan headset di telinganya, Kinar datang, membuat kantuk Kinan  buyar saat dia menarik headset Kinan. Tersenyum saja Kinan melihat perlakuan adiknya yang seperti itu, meski sebenarnya dia jengkel, namun ia takut membentak peri kesayangannya itu, ia takut Kinar menangis lagi, matanya saja masih kubil karna menangis kemarin sore. “Kinan aku mau ngasi tau sesuatu deh ke kamu!” Kinan hanya menaikkan satu alisnya. “Aku suka Awan deh kayanya, menurutmu gimana? Kamu nggak masalah kan? Dia itu baik banget sama aku, kayanya dia suka aku juga deh” kalimat itu membuat Kinan terkejut. Kinan merasa ini aneh saja, seperti rasa tak rela tapi tak terlalu dipikirkannya, toh Awan hanya temannya, jika itu membuat Kinar bahagia mengapa tidak? Keluarga mereka juga sudah saling mengenal, apalagi. Kinan mengangguk setelah beberapa menit berpikir. “Jadi kamu setuju?”
Kinan mengangguk yakin sambil tersenyum “Setujulah, Awan itu kan baik, dia itu pinter banget, dia cocok kok buat kamu” Kinar tersenyum mendapat dukungan dari kakaknya “Tapi,,” senyum Kinar seketika hilang “Awan itu cemen, nggak lebih maco daripada aku” Kinan tertawa diakhir kalimatnya.
“Itu kamunya aja yang terlalu maco” Kinar berdiri kembali tersenyum dan keluar dari kamar Kinan, sebelum menutup pintu kamarnya Kinar tersenyum pada kakaknya yang sangat ia sayang itu, sebagai tanda terimakasih atas dukungannya. Kinan kembali menidurkan badannnya, sambil menatap handphonenya yang mati, perasaan apa ini, mengapa rasanya aku tak rela Awan dengan adikku sendiri, ah aku tak boleh seperti ini, Kinar harus bahagia, Kinar berpacaran dengan Awan juga tak berarti aku kehilangan teman kan? Dihidupkannya ponsel yang ada digenggamannya, foto itu, Kinan tersenyum lagi, ingat dengan kanak-kanak yang mengambil permennya, juga ingat dengan pria yang pernah ia injak kakinya. Terus ia menatap handphonenya hingga matanya terlelap. Tapi tak beberapa saat terbuka lagi, handphonenya berdering, dua pesan singkat masuk sekaligus, dua nomor yang berbeda dengan pesan yang sama, sama-sama mengucap selamat malam walau kalimatnya sedikit berbeda. Yang satu dari Awan yang satu lagi dari nomor tanpa nama, isinya sama, Kinan menyimpulkan keduanya itu Awan yang mengirim, makanya Kinan membalas pada satu nomor saja, ke nomor dengan nama Awan, bahkan Kinan menelpon Awan. Ini hal yang biasa mereka lakukan akhir-akhir ini, mengobrol hingga malam semakin larut, dari kiri ke kanan, dari selatan ke utara entah apa yang mereka perbincangkan malam hari.
“Kinan aku ingin menanyakan sesuatu padamu, tapi aku harap kamu tak akan marah” Kinan terdiam mendengar kalimat itu, Kinan tahu perbincangan kali ini akan menjurus kemana. “Apa memang tak ada harapan untukku bisa menjalin hubungan yang lebih dari sekedar teman denganmu?” Kinan tetap saja tak menjawab, biasanya ia mengoceh memaki Awan dan menyuruh Awan memadamkan perasaannya, tapi Kinan kini terdiam, bathinnya bertarung sangat kuat. “Maaf Kinan, kamu jangan marah, kalo memang belum bisa, aku bakal tunggu kamu kok, aku yakin kamu pasti nerima aku suatu saat”
“Awan” suara Kinan berat setelah beberapa detik terdiam “ada satu hal yang harus kamu tau, Kinar suka sama kamu, gimana mungkin aku bisa nerima kamu” kini keduanya terdiam, sama-sama bingung akan apa yang harus dikatakan. “Aku mohon, mohon banget sama kamu, jaga perasaan adikku ya, bahagiain dia, kamu tau sendiri gimana sayangnya aku sama dia, aku mohon” suara Kinan tambah berat.
“Kinan? Apa kamu nangis? Jangan nangis, aku cinta sama kamu, aku harus bahagiain kamu, aku ngerti perasaanmu, jangan mohon sama aku, kalo emang itu mau kamu, oke, aku jagain adikmu, please jangan nangis” Awan juga semakin berat suaranya, Awan ini aneh, mana mungkin Kinan menangis hanya karna soal perasaan, tapi untunglah, Awan mau mengerti perasaan Kinan. “Kamu tidur ya, udah malem, besok aku kerumahmu, daa” tumben Awan menghentikan percakapan ini duluan, hatinya mungkin tak terima jika kasihnya harus seperti ini.

Kinan memutuskan untuk tidur, tapi sebelum itu ia membaca pesan dari nomor tanpa nama itu “Semoga mimpimu indah” Kinan tersenyum, Awan terlalu baik untuknya, bahkan setelah ditolak puluhan kali dan disuruh berpindah ke lain hati dia masih mengirimkan kata-kata manis itu, walaupun ia tak pernah melakukannya. Eh tapi Awan tak pernah melakukannya, lantas ini nomor siapa? Kinan mencoba membalasnya namun sia-sia, pulsanya habis untu menelpon Awan tadi.