Gusti Ayu, gadis Bali yang aku kenal beberapa tahun lalu. Suaranya merdu sekali, dialek masyarakat Bali memang khas, namun jika kalian mendengar rekaman suaranya, kalian takkan menyangka dia adalah seorang bersuku Bali. Dialeknya Indonesia, namun jika kalian melihat wajahnya, dari 30 meterpun kalian pasti bisa menebak, dia seorang Bali. Tubuh yang tak terlalu tinggi, dengan rambut panjang yang bergelombang dan mekar, berwarna hitam tak pekat. Bentuk wajahnya oval memanjang, dengan dahi lebar dan dagu yang lancip. Aku ingat betul ada lesung pipi kanan diwajahnya. Sungguh, inilah wajah Bali yang pasti ada di bayangan kalian.
Aku anak seorang perwira, yang walaupun bersuku Bali,
namun aku lahir dan tumbuh diluar pulau ini. Sebagian besar keluargakupun
berprofesi sebagai angkatan, atau pengabdi negara, hanya satu atau dua kali
dalam setahun kami pergi ke Bali jika ada hari raya besar, itupun aku tak
selalu ikut. Pengetahuanku sangat minim tentang Bali. Jika seseorang bertanya
padaku tentang Bali, yang kutahu hanya rumahku, aku jauh dari pengetahuan
pariwisata, karena didaerah tempat tinggal nenekku ini, bukan daerah
pariwisata.
Di Bali, harus ada anak laki-laki yang tinggal dirumah
sebagai penerus keluarga. Aku adalah anak laki-laki satu-satunya dari ayahku,
nenek memintaku untuk tinggal di Bali, menemaninya sambil belajar mengenai
peran yang harus kuambil jika aku tinggal di Bali dimasa dewasaku. Saat aku
menginjak SMA, aku pindah ke Bali. Di kabupaten kecil yang sepi, namun tak
begitu terpencil seperti kota tempat ayahku bertugas dulu. Di SMA yang kecil
itulah aku bertemu dengan gadis bernama Gusti Ayu.
Dia anak yang aktif, periang, dengan rambut yang selalu
dirangkai dengan bunga cempaka atau sandat, tanda dia telah usai bersembahyang.
Hari pertama kami masuk sekolah, aku telah mengenalnya, lebih tepatnya kami
satu angkatan. Dia terlalu aktif bertanya pada pembicara saat masa orientasi.
Aku, aku yakin dia tak mengenalku, apalagi melihatku. Badanku yang tak besar
berada ditengah kerumunan orang, menggunakan topi, mana mungkin dia melihatku.
Bahkan aku tak yakin siswa yang duduk disebelahku menghiraukanku, bahkan akupun
tak mau peduli dengan siswa disekitarku. Malas sekali rasanya bergaul, mungkin
karena terbiasa menjadi murid yang selalu berpindah sekolah dan tak pernah
memiliki sahabat dengan benar.
Tujuh hari kemudian, saat masa orientasi telah selesai,
disiang yang panas itu aku tahu bahwa aku ditakdirkan untuk bersama Gusti Ayu.
Kami berada dalam satu kelas yang sama. Dia memang dia, tak memakai topeng sama
sekali. Yang selalu diperlihatkan saat masa orientasi adalah dirinya yang
sebenarnya. Di kelas, aku melihat dia ceria, spontan maju mengutarakan apapun
yang ia pikirkan, pendapatnya, sanggahannya. Dia gemar bermain puisi, dia
pandai sekali menyusun kata, menyanyikannya. Aku mengamatinya, melihat
perubahan apapun yang terjadi padanya. Dia meluruskan rambutnya, mengenakan
jepitan berwarna-warni dirambutnya, semakin kurus, menggendut, normal lagi.
Rambutnya, aku pernah menyentuhnya. Rambut yang ingin sekali
aku sentuh sedari pertama kali aku melihatnya. Dia membentakku. Marah besar,
matanya memulat, dengan bibir cemberut, alisnya naik. “Jangan pegang rambutku,
yang boleh pegang hanya suamiku!” suaranya tegas. Aku terkejut. Dia pergi,
berlari menjauhiku. Aku tersenyum tipis, aku tahu bahwa aku memang ditakdirkan
dengannya.
Namun sifatku yang pemerhati ini tak bisa mencolok
seperti dirinya, ataupun punya keberanian untuk mendekatinya secara
terang-terangan. Akhirnya, akupun melihat dia menjalin hubungan dengan beberapa
lelaki. Dan aku hanya bisa memperhatikannya. Sainganku bukan hanya pacar,
gebetan dan mantannya saja, namun beberapa temanku baikku juga. Ada banyak
lelaki yang menceritakan perasaannya dengan Gusti Ayu padaku, mungkin karna
mereka menganggap aku tidak tertarik dengan Gusti Ayu, namun karna sikap diam
dan pemerhatiku ini, aku menjadi tahu berapa sebenarnya rivalku, dan kapan
seharusnya aku memperhatikannya dengan baik, untuk melindunginya.
Selain semua kelebihannya, Gusti Ayu punya kelemahan, yaitu
ceroboh. Dia terlalu mempercayai banyak orang sampai tak tahu dimanfaatkan, dan
walaupun dia tak tahu, aku pernah menyelamatkannya dalam beberapa kejadian. Dia
pernah hampir dikecup laki-laki nakal, aku membatalkannya dengan melempar
pesawat kertas.
Di akhir masa SMA kami, saat dia disakiti oleh lelaki
lain, aku mulai dekat dengannya. Aku memanfaatkan kesempatan yang ada, tak akan
aku sia-siakan lagi. Kami akhirnya berpacaran. Kalian harus tahu aku sangat
bahagia, dia wanita yang sangat manis. Dia memotong poni karena dia tahu aku
menyukai wanita berponi. Tapi sayangnya kami belum pernah jalan bersama, kami
hanya pacaran lewat HP karena dia harus melanjutkan studinya ke fakultas,
sedangkan aku harus berjuang untuk ujian masuk kepolisian.
Cita-citanya adalah menari denganku dibawah hujan, yang
sampai saat ini belum terkabulkan. Saat aku masih menempuh pendidikan polisiku,
dia juga selalu menceritakan keinginan atau khayalannya untuk suatu saat
berjalan-jalan berdua, seperti kencan. Kalian tahu, dia sangat lucu. Semakin
lama pipinya menembam, kenyal sekali. Semakin kemari, dia semakin sering marah,
karena waktuku yang semakin sedikit untuknya. Dia pernah bilang “mending kamu
kerja jadi tukang es campur aja, biar kamu bisa atur sendiri waktumu, biar punya
waktu sama aku.” Karna mungkin menurutnya aku begitu tak punya waktu sama
sekali. Dan juga, karna dia gemar es campur, gemar sekali. Dia bisa habis 2
bungkus sekali minum.
Enam bulan yang lalu. Aku kehilangannya. Untuk
selama-lamanya.
Kami bukannya tak pernah putus nyambung, permasalahan
setiap dia memutuskan hubungan kami hanya satu. AKU TAK PUNYA WAKTU. Dia selalu
menjadi marah jika aku sibuk, atau jutek, dan jika lebih dari 3 hari, tamat
sudah, pasti dia minta putus. Bahkan jika aku sibuk dengan keluargaku, dia
selalu menuntut dia juga diberikan jatah yang sama. Dia selalu senang ditemani,
dibantu mengerjakan sesuatu, atau digenggam tangannya sampai berjam-jam.
Enam bulan yang lalu, aku benar-benar tak memiliki waktu
lagi dengannya. Aku tak punya kesempatan lagi untuk menemaninya jalan-jalan.
Aku tak bisa lagi membantunya mengerjakan tugas kampusnya, dan tak ada lagi
tangan yang bisa kugenggam hingga berjam-jam. Handphoneku pun tak pernah
berdering sesering dulu. Tak ada yang marah saat aku tak sengaja memencet like difoto teman perempuanku. Tak ada lagi telepon
yang durasinya lebih dari 15 menit.
Dia pergi karena mitral regurgitasi. Katup jantungnya tak
berfungsi dengan baik. Darah yang seharusnya mengalir keseluruh tubuh tetap
diam dijantungnya. Dia memang lemah, sedari pertama kali aku mengenalnya.
Keadaan ini bukan sesuatu yang tiba-tiba. Tetapi aku tak pernah mengetahuinya.
Yang kuketahui, dia hanya mengidap darah tinggi, dan sedang dalam pengobatan.
Kenyataan yang paling buruk adalah, aku sedang bekerja
saat dia menelponku. Telepon terakhirnya. Harusnya aku mengangkatnya, andai aku
tahu itu adalah kali terakhirku untuk bicara padanya, aku tidak hanya akan izin
beberapa saat dari rapat itu untuk mengangkat telponnya, tapi aku akan langsung
pergi ke tempatnya.
Dia tak pernah dirawat sama sekali dirumah sakit. Entah
dia mengetahui kondisinya atau tidak, yang ku tahu, dia hanya check-up ke rumah
sakit. Tapi aku tak pernah menemaninya. Kalian tahu? Walaupun dia manja padaku,
sebenarnya dia adalah wanita yang mandiri. Dia hanya pergi seorang diri kerumah
sakit, mungkinkah agar tak ada yang tahu kondisinya yang sebenarnya? Tapi
seingatku, dia pernah meintaku mengantarnya, dan aku memilih untuk menjalankan
acara keluargaku.
Sulit sekali untukku menceritakan ini. Namun kali ini
kuberanikan diri mengenang bagian dari jiwaku yang terlah pergi. Aku
menemuinya, tubuh yang sudah kaku. Yang tak bisa lagi tersenyum atau cemberut
seperti biasanya. Semuanya putih pucat, andai aku bisa menciumnya untuk yang
terakhir kalinya. Dia sangat cantik, walau tak nampak lesung pipinya, walau
matanya terpejam, aku tetap bisa mengenangnya.
Ditangannya yang dingin, kupandang dalam. Aku teringat
dia ingin sekali kubelikan cincin. Tapi aku tak boleh menangis. Di Bali, tubuh
yang telah ditinggalkan oleh pemiliknya tidak boleh terkena tetesan air mata,
kita percaya itu akan menghambat proses pemilik tubuh. rambut itu, kuusap lagi,
berkali-kali. aku ingin kata-katanya menjadi kenyataan, yang menyentuh
rambutnya akan menjadi suaminya. Tapi mengapa aku tak bisa? Tuhan tak memberiku kesempatan untuk merawatnya menjadi istriku.
Gusti Ayu, wanita yang enam bulan lalu masih dengan
lantangnya memintaku untuk pulang, jangan ambil kerja lembur, atau jadi tukang
es campur saja, kini sudah tak ada. aku sendiri melihat bagaimana tubuhnya
dibakar, sebagian melayang, menari ke udara. Sebagian lagi, menyatu memeluk
bumi. Larut dalam air laut. Dan kenangannya ada bersamaku, dalam jiwaku,
selamanya.
Kini hujan yang dulu paling kita nantikan, adalah hal
yang tak pernah aku inginkan. Hujan seakan menamparku, menyayatku dengan tiap
tetesannya, bahwa aku tak bisa memenuhi keinginan Gusti Ayu sejak awal hubungan
kami.
Gusti Ayu, jika dikehidupan berikutnya kita bertemu, aku
akan menyentuh rambutmu lagi. Kupastikan, aku akan melakukannya lagi, untuk
semua yang belum kupenuhi.